Mas, cepat pulang, papa sakit lagi, teriak istriku di ponsel ku setengah berteriak. âoke, aku pulang….. Yantoo, kamu jagain bengkel ya, aku mau nganter mertua ke rumah sakit, perintahku pada keponakan sekaligus asisten ku di bengkel yang aku kelola. “suruh si ujang beli makan siang sana”, perintahku lagi sembari menuju mobil. Aku melirik jam , menunjukan pukul 11.30. “Papa udah dibawa ke rumah sakit sama pak Gondo dan Arif, mas”, ujar istriku setiba di rumah kemudian menyebutkan nama sebuah rumah sakit ternama di Jakarta langganan mertua jika berobat. Papa, biasa aku memanggilnya, sudah 3 tahun ini terkena gejala jantung. Umurnya sekitar 62 tahun, kesibukannya mengurus bisnis membuatnya melupakan kesehatannya, mana orangnya bandel lagi, gak mau pantangan. “Terus aku ngapain neh?”, tanyaku pada isteri yang masih menggendong bayi mungilku yang baru berumur 4 bulan. “mas jemput mama ke bandara sana, jam setengah 3 berangkat dari surabaya, tapi mas makan dulu deh”. Usai makan siang, segera kusiapkan beberapa helai pakaian untuk berjaga-jaga jika terpaksa menginap, jarak Tangerang-Jakarta pusat kan cukup lumayan. “aku berangkat dek, jagain rumah ya, aku munkin nginap seperti dulu waktu Papa diopname, kalau ada apa-apa sms atau suruh si Yanto aja”,.”Hati-hati mas”,”mmmuaah…”setelah mencium anak dan istriku aku segera berangkat.
Jam menunjukan pukul 15.15, bentar lagi ibu mertua yang biasa kupanggil mama akan tiba. Mama seorang wanita yang enerjik dan pandai berwira usaha, hampir setiap minggu pergi ke berbagai daerah untuk berbisnis apa saja mulai dari garment sampai perhiasan. Usianya jauh lebih muda dari papa, sekitar 47 tahun. “Gimana papa , Den?” Tanya mama dalam perjalanan ke rumah sakit. “ya..biasa ma, sesak nafas, gejala serangan jantung, tapi udah ditungguin si Gondo & Arief, juga udah ditangani Dokter Farid langganan papa”, jawabku mencoba menenangkan mama. Mama menarik nafas lalu berkata “syukurlah..moga gak apa-apa”. Papa masih tidur ketika kami tiba di kamar rawat inapnya. Usai menjenguk papa di rumah sakit, kami lalu beristirahat di lobi. Rumah sakit ini bertaraf internasional, jadi kami tak perlu menunggui papa seharian, Gondo & Arif, supir dan karyawan papa menginap di hotel kelas melati dekat rumah sakit. Tinggal aku dan mama yang belum menentukan dimana harus menginap, tadinya aku juga ingin menginap di hotel yang sama, tapi untuk sekelas mama sepertinya kurang pantas, sialnya pula , kamar yang disewa karyawan papa itu adalah kamar terakhir yang masih kosong.
Beberapa saat kemudian aku dan mama memutuskan mencari hotel yang layak yang terdekat. Benar-benar sial, semua full booked, baru aku sadar sekarang liburan sekolah baru saja dimulai. Lama kami berputar-putar sampai akhirnya menjelang senja, kami mendapatkan sebuah hotel bintang 3 yang masih punya kamar kosong. Tapi keberuntungan belum berpihak pada kami, karena yang ada hanya tinggal satu-satunya kamar dengan single queen bed. “Gimana ma? Apa kita cari lagi?” Tanyaku pada mama. Mama yang tampak lesu menjawab pasrah,âya udah lah Den, mama juga udah capek, kita ambil aja, mama udah gak tahan…gerahâ. “oke deh pak, kita ambil, tapi bisa ngasih kasur tambahan gak?”, tanyaku pada resepsionis hotel yang sambil tersenyum ramah menjawab sambil menggelengkan kepala ,”maaf pak, itupun udah habis, ada yang satu kamar sampe minta 2. Kamar bapak pun kebetulan karena bookingnya dicancel, tapi kalau ada tamu yang checkout kami usahakan pak”, jawabnya sambil menyerahkan kunci kamar. Kami bergegas menuju kamar hotel yang berada di lantai lima, didampingi porter yang membawa koper& barang-barang mama. “wah, gimana nih ma, Deni jadi gak enak neh”, ujarku setibanya di dalam kamar hotel yang interiornya cukup mewah tesebut . “Ya apa boleh buat Den”, jawab mama tak bersemangat sembari membongkar isi kopernya. “Atau Deni pulang aja ma, besok pagi datang lagi”, ujarku lagi. “jangan Den, entar kalau ada apa-apa terus gimana, ya udah kamu tidur di sini aja, kamu malu tidur sama mama?..ujar mama. “ya udah deh, Deni tidur di sofa aja ma,”Ngapain? Kamu gak lihat ukuran sofanya segede apa? Udah kamu tidur di ranjang sama mama, kamu kan udah mama anggap anak mama sendiri, ngapain malu sih?”, jawab mama mencoba meyakinkanku. Apa boleh buat, pikirku. Aku cuma gak ingin mengganggu kenyamanan mama, dan rasanya risih juga tidur bareng ibu mertua. Bukan karena aku punya pikiran ngeres , walau harus diakui mama masih sangat menarik di usianya yang menjelang setengah abad, kulitnya kuning langsat dengan potongan tubuh masih ideal sebab mama rajin merawat diri dan olah raga, bisnis yang ia jalankan menuntutnya untuk tetap fit dan berpenampilan menarik. Jika disandingkan dengan istriku, lebih mirip adik dan kakak dibanding ibu dan anak. “mama mandi dulu Den”, ujarnya. Beberapa menit kemudian Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju kamar mandi.Baru kusadari pintu kamar mandi ini adalah kaca dof yang tembus pandang , di dalamnya ada shower dan bath tub. Dengan sedikit iseng aku mendekat, dan dari balik pintu kaca itu tampak bayangan wanita bugil walau tak begitu jelas. Sesuatu sempat bergerak di antara selangkanganku, namun hati nurani menyuruhku untuk kembali ke sofa. Kunyalakan TV,dan rasa lelah akibat seharian mengemudi membuatku mengantuk dan tertidur di atas sofa.
“Den..bangun Den, sana mandi!”, aku terbangun gelagapan, mama berada dihadapanku masih mendorong-dorong pelan bahuku. Rambutnya terlilit handuk dan tubuhnya terbalut kimono tidur, namun karena posisinya setengah menunduk menampakan pemandangan belahan dadanya yang indah. “eh…iya ma, sorry ma, ketiduran”,ujarku seraya bangkit menuju kamar mandi. Usai mandi kami lalu memesan makan malam melalui room service, rasanya masih malas untuk cari makan di luar meskipun sempat aku tawarkan pada mama. Setelah bercakap-cakap beberapa saat lalu kami tidur.