“Saya ingin melamar Aisya, Pak.” ujarku mantab.
Pak Kyai tampak kaget, beliau berdiam diri menatap tajam diriku dan Aisya.
“Iya Pak, kami sudah menjalin janji.” Aisya meyakinkan ayahnya.
Lagi, Pak Kyai hanya terdiam. Aku mencoba menceritakan apa yang telah kami jalani sampai saat ini. Pak Kyai malah memerah wajahnya.
“Jadi kamu sudah ke rumah dia, tanpa sepengetahuan Bapak?” tanya Pak Kyai meninggi. Aisya khawatir dengan pertanyaan ayahnya.
“Tapi itu hanya perkenalan saja, Pak. Cuma silaturahmi.” Aku mencoba menenangkan.
Pak Kyai bertambah merah wajahnya.
“Untuk ukuran desa, kamu memang sudah pantas menikah, tapi perempuan tak boleh menyodor-nyodorkan diri seperti itu.” Pak Kyai mengkritik anaknya.
“Apalagi yang sudah kalian perbuat di belakang Bapak?” tanya Pak Kyai dengan serius.
“Tak ada, Pak. Dan kami sama sekali tidak berkhianat di belakang Bapak.” jawabku berusaha membela diri.
Nampak Pak Kyai menahan nafas.
“Saya sungguh-sungguh berniat meminang Aisya Pak, dan kalau proses yang kami jalani ini menyinggung Bapak, kami mohon maaf.” Ku beranikan terus terang. Aisya tak tahu harus bagaimana.
“Benar-benar tak tahu malu, perempuan ke tempat lelaki.”
“Pak, Aisya tidak sendirian kok, ditemani ketiga teman.” Aku berusaha menetralisir keadaan.
“Jangan menganggap enteng adat.” Pak Kyai masih membentak-bentak Aisya, kemudian telunjuknya mengarah kepadaku.
“Saya tak ingin anak saya dipermainkan. Kalau kamu memang benar serius ingin melamarnya, saya ingin melihat kesungguhanmu.”
Aku mendadak terkejut sekaligus gembira.
“Insya Allah, saya serius, Pak.”
Tampak Pak Kyai menenangkan diri, kemudian berucap kepadaku: “Okelah kalau itu keinginanmu. Bawakan sejuta tangkai mawar merah, baru saya restui.”
“Haaaah, serius Pak?”